Teori kembali ke Masa Lampau Tanpa Melalui Black
Hole?
Sebuah teori baru menjelaskan bagaimana kita
bisa kembali ke masa lampau tanpa harus melalui black hole. Dasar konsep ini
tetap teori relativitas Einstein.
BISAKAH manusia menerobos kembali ke masa
lampau? Telah lama orang mengimpikan kemungkinan itu. Banyak cerita, buku, atau
film yang mengisahkan hal itu. Sutradara Steven Spielberg, misalnya, membuat
film Back to the Future.
Atau serial Voyager yang pernah ditayangkan
RCTI. Di situ dikisahkan, dengan bekal jam ajaib seseorang bisa menembus
dimensi waktu, ke belakang. Misalnya, bagaimana sang tokoh bisa bertemu dengan
Alexander Graham Bell pada 1876, dan ikut menyaksikan Bell menciptakan telepon.
Kembali ke masa silam memang sebuah mimpi ilmiah
yang sudah lama. Pelopor fisika Albert Einstein merupakan tokoh yang punya
andil dalam mengilmiahkan mimpi unik itu. Teorinya mengatakan, dimensi waktu
bukan hanya bergerak ke depan, melainkan juga bisa meluncur ke belakang.
Dalam alam semesta, menurut kesepakatan ahli
fisika, ada dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang punya tiga unsur: panjang,
lebar, dan tinggi. Dalam hal panjang, sebuah gerak bisa berjalan ke depan dan
ke belakang. Begitu pula dalam hal lebar dan tinggi, gerak bisa dilakukan ke
kiri-kanan dan atas-bawah. Singkat kata, dalam dimensi ruang gerak bisa
dilakukan ke segala arah.
Namun, hal semacam itu tidak terjadi pada
dimensi waktu. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa putaran waktu hanya terasa
menggelinding ke depan. Keyakinan Einstein, bahwa waktu bisa diputar ulang, tak
pernah terbukti. Namun, tak pula pernah ada dalil fisika yang menolak kemungkinan
kembali menyusuri masa silam.
Seorang fisikawan dari Institut Teknologi
California, Kip Thorne, pernah merumuskan teori yang mengejutkan. Dia ”
menujumkan”, seseorang bisa melihat masa lalu, dengan syarat bisa memasuki
black hole, galaksi yang memiliki gaya gravitasi tak berhingga besarnya, segala
macam materi di situ mampat menjadi sangat kecil.
Black hole sendiri amat sulit dijangkau karena
jauhnya yang tak terkirakan- untuk ukuran teknologi masa kini. Celakanya, black
hole bukanlah tujuan akhir. Orang harus mencari worm hole, lubang cacing, inti
lubang hitam. Lorong waktu, menurut teori Thorne, ada di situ. Ukurannya
sebesar garis tengah sebuah atom.
Kendati tampak muskil bagi awam, ada pula orang
yang ingin menandingi teori Kip Thorne. Dia adalah Richard Gott, fisikawan dari
Universitas Princeton, Amerika. Teorinya tentang menembus masa silam itu
ditulisnya dalam jurnal bergengsi Physical Review Letters, dan majalah Time
mengangkat isu itu pada edisi akhir Mei lalu.
Richard Gott mengklaim teorinya lebih sederhana.
Untuk mencapai ke lorong masa silam itu, kata Gott seperti yang dikutip Time,
“Tak perlu lubang hitam atau lubang cacing.” Yang diperlukan Gott adalah
pesawat angkasa yang bisa berlari dengan laju yang mendekati kecepatan cahaya,
yang 300.000 km/detik itu.
Thorne membawa-bawa black hole dan worm hole,
sedangkan Gott pun mengait-ngaitkan teorinya dengan dawai kosmis- material alam
yang terbentuk lewat peristiwa bersama-sama dengan peristiwa besar big bang-
ledakan besar yang mengawali pembentukan semesta.
Ledakan big bang itu menghasilkan
bermilyar-milyar serpihan, di antaranya ada yang di kemudian menjelma menjadi
bumi dan matahari. Sebagian besar serpihan itu mendingin, tapi dawai kosmis
lepas dari kondisi umum. Dia tetap menjadi serpihan yang tak kunjung dingin.
Lubang hitam, lubang cacing, dan dawai kosmis
itu antara ada dan tiada. Pasalnya, mereka hanya dikenal alam khazanah teori,
tapi tak pernah tersentuh oleh pancaindra manusia. Dawai kosmis itu, menurut
teori, berukuran kecilnya saja tapi punya massa yang luar biasa besar. Sepotong
dawai kosmis yang panjangnya hanya 2,5 cm, konon, bisa punya berat ribuan
trilyun ton.
Syahdan, kata Gott, dawai kosmis itu punya
gravitasi yang besar sehingga sanggup menarik berbagai material semesta mengelilinginya.
Maka, daerah sekitarnya menjadi semacam lensa, yang bisa menghadirkan berkas
cahaya masa lalu. Tak jelas betul mengapa bisa begitu.
Lalu dengan alasan yang lebih rumit, Gott
menyebutkan bahwa panorama masa lalu itu hanya bisa dinikmati dengan syarat,
ada dua dawai kosmis yang terentang sejajar dan berdekatan. Kedua dawai itu pun
harus pula selalu bergerak dengan arah berpapasan, beraturan, konstan, dan pada
laju yang mendekati kecepatan cahaya. Lalu pesawat ruang angkasa itu harus
mengelilingi kedua dawai itu dengan gerak melingkar elips.
Dalam pandangan ahli fisika kuantum ITB, Dr.
Pantur Silaban, baik konsep Thorne maupun Gott punya dasar pijakan sama: teori
relativitas Einstein. “Mereka hanya mengembangkannya,” kata Silaban, yang
mendapat gelar di Syracuse University, New York, dengan disertasi tentang teori
relativitas.
Istilah-istilah lubang hitam, lubang cacing, dan
dawai kosmis itu, kata Silaban, lahir bersama teori relativitas Einstein.
Kemudian, baik lubang hitam maupun dawai kosmis itu menunjuk pada benda masif
yang memiliki kepadatan supratinggi dan beratnya suprabesar. “Keduanya
memanfaatkan kepadatannya sebagai media kembali ke masa lalu,” tambah Silaban.
Pakar ITB ini tampak berhati-hati menanggapi
teori Thorne dan Gott. Dia menilai kedua konsep itu bisa-bisa dikembangkan
lebih jauh, bahkan diaplikasikan. “Tapi entah kapan,” katanya. Soal wahana
ruang angkasa yang bisa berlari dekat dengan kecepatan cahaya, bagi Silaban,
bukan pula hal yang mustahil. “Kalau berpegang pada argumen teoretis, bahkan
kita bisa bikin roket yang kecepatannya melebihi cahaya,” kata dosen ITB itu,
sambil menyebut prinsip gravitasi ala Einstein.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar